Pages

Minggu, 04 April 2010

Keputusasaan : Kegagalan Bereksistensi


Membuat pilihan dan mengambil keputusan bukan hal yang mudah. Keharusan untuk memilih dan memutuskan persoalan yang berat dan sulit seringkali mengundang penderitaan. Ketidaklengkapan informasi kerap membuat manusia merasa cemas jangan-jangan ia salah memilih, terlebih bila pilihan itu bukan antara yang baik dan yang jahat, melainkan antara dua kebaikan. Bagi Kierkegaard, itulah drama eksistensi manusia.

Dalam Sickness unto Death, Kierkegaard, dengan nama samaran Anti-Climacus, membahas cara-cara yang dapat digunakan dalam menghadapi masalah eksistensi manusia yang paling mendasar, yakni kebutuhan untuk mengungkapkan hakikat temporal dan abadi manusia. Ia menggambarkan tiga cara yang gagal menghadapi masalah ini, yaitu tiga sikap yang ia sebut sebagai bentuk ‘keputusasaan’.
Sikap pertama adalah tidak menyadari masalah ini, maksudnya, orang itu tidak tahu bahwa dirinya adalah sintesis antara yang mewaktu dan yang abadi. Oleh karena itu, orang itu hidup dengan tidak memedulikan tegangan paling fundamental tersebut. Orang itu memang tidak merasakan keputusasaanya, dan karena itu Kierkegaard menyebut keadaan ini “keputusasaan bukan dalam arti yang memadai”. Misalnya, seorang estetis dan pemuja kenikmatan yang senang berpesta-pora barangkali tidak menyadari adanya sifat abadi dalam kodratnya yang tidak ia ungkapkan.
Ia mungkin merasa telah hidup dengan baik dan bahagia, padahal sebenarnya tidak. Hidupnya begitu didominasi oleh hasrat indrawi sehingga tidak tahan untuk hidup dalam dimensi keabadiaan atau rohani. Barangkali orangnya juga sangat pandai dalam hal tertentu, misalnya mendirikan bangunan yang megah atau membangun sistem pemikiran yang canggih, namun hidup pribadinya sangat rapuh karena dibangun dari khayalan demi khayalan. Ia bukan hanya tidak sadar sedang putus asa, melainkan juga tidak tahu bahwa pada dasar eksistensinya ia merasa cemas. Rasa aman yang ia miliki sebetulnya “tanpa roh”. Menurut Anti-Climacus, ini adalah bentuk keputusasaan paling buruk, karena dalam ketidaksadarannya orang itu tidak mau menyadari keputusasaanya. Dengan kata lain, ia merasa ‘aman’ dan ‘mantap’ di bawah kuasa keputusasaan.

Sikap kedua adalah menyadari bahwa ia tidak hanya memiliki aspek temporal tetapi juga abadi, dan kemudian mencoba mendamaikan tegangan di antara kedua aspek ini dengan mencela yang abadi dan menenggelamkan diri dalam hal-hal temporal. Kesadaran ini dapat muncul sebagai akibat tamparan nasib, misalnya nasib buruk membuat usahanya bangkrut atau orang yang dicintainya meninggal.
Dalam situasi seperti ini orang biasanya mulai sadar bahwa kehidupan manusia memang sangat rentan terhadap pengalaman pahit atau malapetaka sehingga ingat akan Tuhan Sang Pencipta. Barangkali ia pun mulai rajin beribadah dan mendekatkan diri pada Yang Ilahi. Akan tetapi, kalau situasi buruk itu tiba-tiba berbalik haluan, dan keinginan atau harapan orang itu mulai terpenuhi, ia pun kembali hidup dalam immediasi. Orang ini, meskipun menyadari aspek abadi dirinya, pada hakikatnya tidak mau mengungkapkan seluruh kodratnya sebagai manusia, melainkan hanya dimensi temporal saja.
Karena sikap ini menolak sebagian dirinya, Kierkegaard menyebutnya “keputusasaan karena tidak ingin menjadi diri sendiri”. Bentuk yang lebih rendah lagi adalah “keputusasaan karena tidak ingin menjadi sebuah diri”, dan yang paling rendah adalah “keputusasaan akibat ingin menjadi bukan dirinya, karena ingin memiliki diri yang baru”.
Sikap kedua ini dapat terungkap dalam bentuk usaha membuang jauh-jauh kesadaran akan keputusasaan dan sedapat mungkin mengabaikan rasa abadi atau menyuburkan kesadaran khusus akan keputusasaannya mungkin “mendapati rumah tempat tinggalnya sungguh menjijikan”, atau “memahami bahwa terlalu memperhatikan hal-hal duniawi merupakan kelemahan”. Namun, alih-alih mengakui dengan rendah hati kelemahan diri dan keputusasaannya, ia malah “lebih terjerat dalam keputusasaanya, dan juga keputusasaan atas kelemahannya”.

Sikap ketiga adalah menyadari tegangan fundamental dalam diri manusia sebagai sintesis antara yang mewaktu dan yang abadi, dan berusaha mengungkapkan tegangan ini dengan kekuatan sendiri. Orang yang mengambil sikap ini akan berusaha mengungkapkan dimensi abadi dengan kehendaknya sendiri, sembari “memisahkan diri dari setiap relasi dengan Kekuatan yang mengandaikan/membuatnya”. Dengan kata lain, orang tersebut menolak bantuan ilahi dalam menghadapi tegangan itu, dan memutuskan untuk menghadapinya dengan kekuatannya sendiri.
Kierkegaard menyebut sikap ini “keputusasaan terhadap keinginan menjadi diri sendiri”. Dirinya sendiri menjadi tuan, dan orang itu tidak menginginkan penolong dari luar. Bagi Anti-Climacus, tindakan ini merupakan penolakan terhadap Yang Ilahi dengan menjadikan diri sendiri “dewa eksperimental”. Usaha ini, bagaimanapun juga, pasti akan gagal: “Tidak ada diri turunan (i.e. diri ciptaan) dapat, dengan memperhatikan dirinya sendiri, member dirinya sendiri lebih daripada yang ada… Maka diri, yang dalam keputusasaannya berusaha menjadi dirinya sendiri, malah bergerak menuju lawannya: ia sungguh-sungguh gagal menjadi sebuah diri”. Akibatnya, orang itu benar-benar putus asa. Keputusasaan ini baru akan terobati ketika orang berpaling kepada Yang Ilahi dan membiarkan diri ditolong oleh-Nya.
Dengan demikian, keputusasaan seperti digambarkan oleh Anti-Climacus sangat berkaitan dengan wilayah eksistensi atau tahap-tahap jalan hidup tempat orang tersebut berada. Keputusasaan merupakan tanda bagi orang tersebut bahwa ia harus melakukan sesuatu terhadap dirinya, termasuk berani masuk ke dalam wilayah eksistensi yang lebih tinggi. Ketika kebosanan merasuk dan kegelisahan menggelitik karena merasa hidup yang selama ini dijalani tidak otentik atau dirasa tidak lagi memadai, orang perlu melihat gejala ini sebagai gema panggilan untuk menjadi diri sendiri yang lebih otentik atau dirasa tidak lagi memadai, orang perlu melihat gejala ini sebagai gema panggilan untuk menjadi diri sendiri yang lebih otentik. Realisasi kehidupan yang otentik ini merupakan perjalanan yang tidak pernah akan selesai, karena manusia adalah pengada yang terus menjadi. Dalam relasi dengan Yang Ilahi khususnya, tidak pernah ada kata ‘cukup’ karena manusia yang terbatas tidak akan pernah akan menjadi Yang Tak Terbatas.(T.H.T,2004)

0 komentar: